Kontribusi Besar Sampah Plastik pada Perubahan Iklim
Selama ini, hampir setiap orang tahu dampak sampah plastik pada lingkungan yang menyebabkan banjir. Namun, belum banyak orang sadar kalau sampah plastik juga berkontribusi besar dalam perubahan iklim atau climate change.
Dalam acara Energy Transitions Youth Forum, side event dari rangkaian acara G20 yang diselenggarakan KESDM dan USAID SINAR, COO & Co-Founder Rebricks Indonesia, Ovy Sabrina berbagi tentang hubungan sampah plastik yang menggunung dengan perubahan iklim.
Selain Ovy, turut hadir beberapa orang muda lainnya yang tak kalah inspiratif, yaitu Rilon P. Uneputty - Pemenang Etic, Bagus Ramadhani - Medco Power, dan Andy Hilmi - Genoil.
Dalam sesi sharing-nya di acara tersebut, Ovy mengungkapkan bahwa sampah plastik berkontribusi menghasilkan emisi gas rumah kaca pada awal dan akhir siklus hidupnya. Sebab, sampah plastik dibuat dari minyak bumi. Data mengungkapkan sebanyak 4% minyak bumi yang diproduksi dibuat untuk memproduksi plastik.
Masalahnya, 95% plastik yang diproduksi adalah plastik sekali pakai. Dari seluruh plastik yang diproduksi, hanya ada 9% sampah plastik yang didaur ulang. Sementara, 91% berakhir di TPA. Selain itu, WWF mengatakan pada 2015, ada 8 juta ton sampah plastik yang berakhir di laut setiap tahunnya.
“Sementara, saat sampah berada di TPA, sampah akan terkena sinar UV matahari dan menghasilkan gas metana yang berbahaya dan berkontribusi langsung pada rumah kaca. Untuk itu, Rebricks Indonesia berfokus pada sampah-sampah tertolak yang tidak bisa didaur ulang,” ungkapnya dalam acara tersebut.
Lebih jauh, sampah tertolak yang terdiri dari sampah plastik multilayer, kemasan lunak, kresek, label, dan lainnya, merupakan sampah yang tidak memiliki teknologi daur ulang yang mumpuni serta insinerator yang aman bagi lingkungan. Sehingga, sampah-sampah tersebut akan berakhir di TPA dan lingkungan, seperti laut.
Untuk itu, Rebricks Indonesia hadir untuk mendaur ulang sampah-sampah plastik tertolak menjadi bahan bangunan seperti paving block, batako, serta roster untuk ventilasi. Tentu, proses produksi setiap produk Rebricks ramah lingkungan, scalable, dan telah teruji di laboratorium.
Sejauh ini, dengan menggunakan bahan-bahan bangunan daur ulang dari sampah plastik tertolak, ada beberapa dampak positif yang tidak hanya secara tidak langsung dapat menyelamatkan bumi dan menghentikan perubahan iklim, tetapi juga mengajak masyarakat Indonesia untuk lebih peduli pada lingkungan dan bumi. Dampak terukur tersebut antara lain:
Pada 2020, Rebricks berhasil mengolah 1000 kg sampah plastik tertolak di tengah pandemi. Di tahun berikutnya, jumlah sampah yang didaur ulang bertambah menjadi 5000 kg. Sementara, hingga Juni 2022 Rebricks berhasil mengolah 7200 kg sampah plastik tertolak.
Meski begitu, Rebricks tetap memiliki tantangan. Saat ini, setiap paving block yang diproduksi mengandung 20% sampah plastik. Namun, ke depannya, Rebricks akan berusaha untuk menaikkan jumlah sampah plastik dalam setiap produknya. Rebricks juga kini berusaha untuk menyeimbangkan supply dan demand.
Selain itu, ada peluang bagi Rebricks untuk membeli atau mengambil kembali produk Rebricks yang sudah digunakan. Nantinya, produk bekas itu bisa kembali digunakan atau didaur ulang lagi menjadi produk yang bermanfaat.
“Atas izin Tuhan, Rebricks juga ingin menggunakan energi terbarukan seperti solar panel untuk memproduksi produk Rebricks,” ungkap Ovy dipenghujung akhir sesi sharing-nya.